Selasa, 28 Desember 2010

“Jagung Titi” Desa Waienga Kabupaten Lembata. Upaya Melestarikan Pangan Lokal

Dari dalam pondok berukuran sekitar 2 x 3 meter  inilah Ibu Sarifah (48 tahun) memulai aktivitas hariannya. Pondok kecil ini berfungsi sebagai tempat memasak sehari-hari (dapur), juga tempat untuk membuat “Jagung Titi“. Hampir setiap hari ia meniti jagung (menumbuk butiran jagung menjadi pipih seperti kripik). Seperti umumnya masyarakat di Desa Waienga Kabupaten Lembata, Ibu Sarifah menggunakan peralatan yang sangat sederhana antara lain : periuk tanah kecil untuk menyangrai butiran jagung, batu ceper sebagai landasan untuk meniti dan batu berbentuk lonjong yang berfungsi sebagai penumbuk (titi).
jagung-titi11“Beta membuat jagung titi sejak kecil, keterampilan dan kemahiran membuat jagung titi didapat secara turun temurun”. Kata Ibu Sarifah, ketika disambangi di pondok kecil di belakang rumahnya.
Untuk membuat jagung titi biasanya dilakukan pada subuh sampai menjelang pagi. Kegiatan ini dilakukan Ibu Sarifah sebelum ke kebun. Proses pembuatan jagung titi dimulai dengan : Butiran-butiran jagung pipilan disangrai di dalam periuk tanah. Cukup menggunakan kayu bakar yang sedikit saja, agar jagung tidak cepat gosong. Setelah berwarna agak kekuningan atau sekitar 3 menit disangrai. Bila periuk tanah tadi terdengar berbunyi “kletek-kletek-kletek”, itu tandanya jagung sudah siap untuk dititi. 3 sampai 4 butir jagung diambil langsung dari periuk dengan menggunakan tangan tanpa alas, lalu diletakkan di atas batu landasan. Butiran jagung tadi ditumbuk (dititi) menggunakan batu lonjong seberat lebih kurang 2 kg. Diperlukan ketepatan waktu antara meletakkan butiran jagung dan menarik telapak tangan agar tidak terpukul. Dengan sekali titi saja, sudah jadilah ”Jagung Titi”.
Karolus Kewaman, Ketua Komite Ketahanan Pangan dan Gizi Desa Waienga menambahkan, “Bahan jagung titi diambil dari hasil panen kami sendiri, biasanya yang paling enak berasal dari Jagung Pulut, sedangkan agar proses menitinya lebih mudah, digunakan jagung yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua”.
jagung-titi31Lebih nikmat menyantap jagung titi dibarengi dengan “Lawar”, sejenis pangan yang berbahan utama ikan-ikan kecil (sejenis Ikan Teri segar) yang direndam beberapa menit di dalam cuka yang telah ditambahkan dengan cabe dan bawang. Dengan sendirinya ikan-ikan kecil ini akan melunak dan menjadi setengah matang. Mirip dengan salah satu jenis makanan ala “Jepang”.
Tapi bila ada yang mau mencoba menyantap “Jagung Titi” ini dengan Susu, pasti akan terasa lebih enak lagi.
jagung-titi21Jagung Titi ini tidak hanya untuk dikonsumsi sendiri, tetapi juga untuk dijual sebagai penambah penghasilan keluarga. Tidak sulit untuk memasarkan Jagung Titi ini, setidaknya itu diungkapkan oleh Bapak Barnabas (Kades Waienga) : “Masyarakat desa kami umumnya melakukan kebiasaan membuat jagung titi ini. Sebagian untuk konsumsi dan sebagian lagi untuk dijual. Tiga mangkuk plastik dihargai Rp. 10.000,-. Untuk keperluan konsumsi, masyarakat meniti jagung bila dianggap persediaan sudah habis, selain itu masyarakat Desa Waienga juga akan meniti bilamana ada pesanan”.
Pola pemasaran yang dilakukan masih sangat sederhana. Biasanya jagung titi dijual kepada pemesan di sekitar desa atau di pasar lokal (setempat). Umumnya masih dalam jumlah yang terbatas.
Setidaknya masih ada upaya masyarakat Desa Waienga untuk melestarikan pangan lokal. Karena mereka cukup menyadari bahwa pangan utama mereka sebenarnya bukanlah “Beras”. Suatu kearifan lokal yang membutuhkan dukungan pemangku kepentingan.
Kita patut memberikan apresiasi terhadap kearifan lokal ini ditengah-tengah modernisasi gencarnya promosi makanan siap saji dari luar.
*) Bekerja pada salah satu INGO (International Non Government Organitation) yang bergerak dibidang Pemberdayaan Masyarakat.

“Oha Witi” (Nasi Jewawut).

oha-witiOha Witi atau Nasi Jewawut merupakan hasil Cipta Menu dari Tim Penggerak PKK Kabupaten Bima yang telah berhasil meraih Juara II Nasional pada Lomba Cipta Menu Tingkat Nasional.
Cara membuat Oha Witi (Nasi Jewawut) :
Bahan-bahan yang digunakan : 100 gr Beras, 200 gr Witi (Jewawut), 25 gr Daun Sandanawa.
Cara Pembuatan : Beras dan Witi direndam selama lebih kurang 1 jam, ditiriskan lalu diaron dan dikukus sampai masak. Nasi Witi dibungkus dengan Daun Sandanawa lalu dikukus kembali. Besarnya Nasi Witi disesuaikan dengan kebutuhan dan selera.
Selamat mencoba.

Pulau Ular


Quantcast
pulau-ular11Mendengar nama Ular, binatang yang satu ini, anda jangan dulu merasa takut atau trauma. Yakinlah bahwa ribuan ular yang ada di Pulau Ular ini tidaklah seseram yang anda bayangkan. Ular-ular di pulau ini sangat ramah dan bersahabat dengan manusia.
pulau-ular2Mau bukti? Kunjungilah “Pulau Ular” yang berada di Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Salah satu pulau yang berada di tengah perairan bagian timur wilayah Kecamatan Wera. Pulau ini juga bersebelahan dengan dua obyek wisata andalan daerah Kabupaten Bima, yaitu Pulau Gilibanta dan Tolowamba.
pulau-ular4Pulau ini merupakan habitat bagi populasi ular laut dengan keunikan warnanya, seperti warna putih silver dikombinasikan dengan hitam kilat. Ular-ular ini jinak dan bersahabat dengan wisatawan yang mengunjunginya.
Pulau Ular dapat dijangkau dengan jarak tempuh lebih kurang 45 menit perjalanan dari Kota Bima dengan menggunakan transportasi darat. Setelah tiba di Desa Kalo Kecamatan Wera, selanjutnya untuk menuju Pulau Ular, anda harus menggunakan perahu/sampan yang telah disediakan masyarakat sekitar dengan waktu tempuh 15 menit dari daratan.
pulau-ular3Mengunjungi obyek wisata Pulau Ular, anda juga disuguhi dengan pemandangan dan keindahan pesona Laut Bima. Dari Pulau Ular, juga anda dapat melihat Gunung Api Sangiang.

Upacara Daur Hidup yang Memikat (Bagian 1)

Dalam tradisi Bima, upacara memegang peranan menentukan. Upacara sudah mentradisi sejak Bima kuno terutama mewarisi tradisi Hindu di masa lampau. Ketika Islam menjadi agama Kerajaan Bima, upacara menjadi alat dakwah. Sebut saja Upacara U’a Pua, yang mempunyai nilai syiar yang luar biasa.
Dalam Masyarakat Donggo dulu, upacara umumnya bernilai sakral. Misalnya upacara persembahan kepada dewa. Mereka mengorbankan binatang seperti kerbau. Namun upacara animis tersebut sudah ditinggalkan seiring dengan kian menguatnya pengaruh Islam dalam kehidupan mereka.
Dalam tulisan ini, akan dikemukakan secara singkat beberapa upacara seperti pernikahan dan khitanan, antara lain dikutip dan diadaptasi dari Buku “Dou (Manusia) Dompu”, edisi perdana 2001.
Pernikahan
Pernikahan atau nika ra neku dalam tradisi Bima memiliki aturan baku. Aturan itu cukup ketat sehingga satu kesalahan bisa membuat rencana pernikahan (nika) menjadi tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon mempelai laki-laki tidak diperkenankan berpapasan dengan calon mertua. Dia harus menghindari jalan berpapasan. Jika kebetulan berpapasan makan calon dianggap tidak sopan. Untuk itu harus dihukum dengan menolaknya menjadi menantu.
Aturan yang ketat itu tentu menjadi bermakna karena ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Kini, tentu saja aturan tersebut sudah ditinggalkan. Misalnya ngge’e nuru atau tinggal bersama calon mertua untuk mengabdi di sana.
Panati
Dalam tradisi Bima, Panati menjadi pintu gerbang menuju ke jenjang pernikahan. Panati adalah melamar atau meminang perempuan.
Panati diawali dengan datangnya utusan pihak laki-laki ke orang tua perempuan. Utusan datang untuk menanyakan apakah sang gadis sudah memiliki kumbang atau calon suami. Bila memperoleh jawaban bahwa sang perempuan berstatus bebas, kembali dilakukan pendekatan untuk mengetahui apakah perempuan itu dapat dilamar. Jika lamaran itu diterima oleh pihak perempuan, si pria melakukan apa yang disebut wi’i nggahi. Pada hari yang ditetapkan, pertunangan diresmikan dalam Upacara Pita Nggahi.
Dou Sodi
Upacara melamar atau meminang dalam bahasa daerah disebut panati. Orang yang diutus untuk melakukan pinangan disebut Ompu Panati. Bila pinangan itu diterima, resmilah kedua remaja berada dalam ikatan pacaran. Satu dengan yang lain disebut dou sodi (dou artinya orang, sodi artinya tanya, maksudnya orang yang sudah ditanya isi hatinya dan sepakat untuk dinikahkan). Karena sudah saling diikat, yang seorang sudah menjadi dou sodi yang lain, kedua remaja itu tak bebas lagi untuk mencari pacar lain (Khaerul Muslim, 2001).
Jika kedua remaja itu sudah mengikat janji, biasanya perempuan meminta sang pria agar mengirim orang tuanya. Biasanya sodi angi tidak berlangsung lama melainkan langsung diikuti dengan melamar sang gadis. Tujuannya, antara lain, untuk menghindari fitnah dan hal-hal lain yang tidak terpuji.
Ngge’e Nuru
Ngge’e nuru maksudnya calon suami tinggal bersama di rumah calon mertua. Ngge’e artinya tinggal, nuru artinya ikut. Pria sudah diterima lamarannya, bila kedua belah pihak menghendaki, sang pria diperkenankan tinggal bersama calon mertua di rumah calon mertua. Dia akan menanti bulan baik dan hari baik untuk melaksanakan upacara pernikahan.
Datangnya sang pria untuk tinggal di rumah calon mertua inilah yang disebut dengan Ngge’e Nuru. Selama terjadinya ngge’e nuru, sang pria harus memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang baik kepada calon mertuanya. Bila selama ngge’e nuru ini sang pria memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang tidak sopan, malas dan sebagainya, atau tak pernah melakukan shalat, lamaran bisa dibatalkan secara sepihak oleh keluarga perempuan. Ini berarti ikatan sodi angi diantara dua remaja tadi putus.
Tujuan utama ngge’e nuru ini adalah proses adaptasi antara sang pria dengan kehidupan calom mertua. Selama ngge’e nuru, pria tidak diperkenankan bergaul bebas dengan perempuan calon istrinya.
Wa’a Coi
Wa’a coi maksudnya adalah upacara menghantar mahar atau mas kawin, dari keluarga pria kepada keluarga sang gadis. Dengan adanya upacara ini, berarti beberapa hari lagi kedua remaja tadi akan segera dinikahkan. Banyaknya barang dan besarnya nilai mahar, tergantung hasil mufakat antara kedua orang tua remaja tersebut. Pada umumnya mahar berupa rumah, perabotan rumah tangga, perlengkapan tidur dan sebagainya. Tapi semuanya itu harus dijelaskan berapa nilai nominalnya.
Upacara mengantar mahar ini biasanya dihadiri dan disaksikan oleh seluruh anggota masyarakat di sekitarnya. Digelar pula arak-arakan yang meriah dari rumah orang tua sang pria menuju rumah orang tua perempuan. Semua perlengkapan mahar dan kebutuhan lain untuk upacara pernikahan seperti beras, kayu api, hewan ternak, jajan dan sebagainya ikut dibawa.
Mbolo Weki
Mbolo weki adalah upacara musyawarah dan mufakat seluruh keluarga maupun handai taulan dalam masyarakat untuk merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hajatan/rencana perkawinan yang akan dilaksanakan. Dalam tradisi khitanan juga demikian. Hal-hal yang dimufakatkan dalam acara mbolo weki meliputi penentuan hari baik, bulan baik untuk melaksanakan hajatan tersebut serta pembagian tugas kepada keluarga dan handai taulan. Bila ada hajatan pernikahan, masyarakat dengan sendirinya bergotong royong membantu keluarga melaksanakan hajatan. Bantuan berupa uang, hewan ternak, padi/beras dan lainnya.
Teka Ra Ne’e
Teka ra ne’e ke keluarga yang melaksanakan hajatan merupakan kebiasaan di kalangan masyarakat Bima. Teka ra ne’e berupa pemberian bantuan pada keluarga yang mengawinkan putra putrinya. Bila upacara teka ra ne’e dimulai, berduyun-duyunlah masyarakat (umumnya kaum wanita) datang ke rumah keluarga tuan rumah membawa uang, bahan pakaian dan sebagainya.
Selama acara pernikahan digelar keramaian seperti malam hadrah atau biola semalam suntuk. Ada pula olahraga seperti Guntaw atau tarian seperti Buja Kadanda.
Jambuta
Ada sebuah acara yang menjadi bagian dari prosesi perkawinan yaitu jambuta. Semula acara ini hanya berlaku di kalangan etnis Arab, namun akhirnya menjadi bagian dari tradisi Bima maupun Orang Melayu. Jambuta hampir sama tujuannya dengan Teka ra ne’e namun pelaksanaannya cukup satu hari. Sedang Teka ra ne’e berkisar antara dua hingga tiga hari.
Kapanca
Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum calon penganti wanita dinikahkan. Setiba di uma ruka, calon pengantin wanita akan melaksanakan acar adat yang disebut kapanca, yaitu acara penempelan kapanca (inai) di atas telapak tangan calon pengantin wanita. Dilakukan secara bergiliran oleh ibu-ibu pemuka adat. Kapanca merupakan peringatan bagi si calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tak lama lagi akan melakukan tugas sebagai istri atau ibu rumah tangga.
Seiring dengan kegiatan kapanca, akan disuguhkan juga sejenis kesenian rakyat yang bernafaskan ajaran Islam yang disebut Ziki Kapanca yang dilakukan oleh para undangan. Mereka akan membawakan syair bernuansa Islam yang liriknya berisi pujian dan sanjungan pada Allah dan Rasul. Usai Ziki Kapanca dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian dan musik Mbojo Bima semalam suntuk.
Akad Nikah
Akad nikah merupakan puncak acara. Sebelum akad berlangsung, malamnya dilakukan upacara kapanca (memberi atau menghias daun pacar yang digiling halus pada jari-jari tangan dan kaki pengantin). Acara ini disebut londo dende, dimana pengantin pria diantar ramai-ramai oleh keluarga dan handai taulan dengan diiringi kesenian hadrah ke tempat pengantin wanita. Pengantin pria mengenakan pakaian adat pengantin. Kadang-kadang kedua pengantin diarak bersama-sama menuju tempat upacara. Seringkali pula hanya pengantin pria yang diarak. Pengantin wanita cukup menunggu di tempat upacara.
Di tempat pengantin wanita dipersiapkan berpakaian adat pengantin dan duduk di atas pelaminan yang dihias ornamen-ornamen tradisional. Duduknya di bawah (di atas kasur berhias) dengan bersimpuh menurut adat (doho tuku tatu’u). Ia didampingi seorang inang pengasuh dan dua remaja putri dari keluarga dekat yang bertugas mengipas, selain itu duduk pula dua orang laki-laki atau perempuan yang membawa alat penginang.
Di muka pelaminan duduk berbaris berhadap-hadapan putri-putri remaja yang membawa lilin berhias. Di belakang dan di samping mereka duduk para tamu ibu-ibu dan bapak-bapak. Orang tua pengantin wanita duduk di sebelah pelaminan. Ruangan tersebut dibatasi dengan tirai adat yang disebut Dindi Ra-Lara berwarna-warni. Biasanya dipakai warna merah, hijau, kuning dan putih.
Saat pengantin dan rombongan naik atau masuk ke ruangan, mereka berhenti di depan tirai. Terjadilah semacam dialog pendek antara pengantar (bapak-bapak) pengantin pria dengan penjaga tirai (bapak-bapak) pihak wanita. Setelah diserahkan uang pelumas dan sirih pinang, barulah tirai dibuka oleh ibu-ibu dari pihak wanita dari dalam tirai dan disambung dengan taburan beras kuning.
Masuklah pengantin pria dengan dikawal dua orang bapak atau ibu yang berhenti di depan pelaminan. Pengantin pria melangkah naik ke pelaminan dan menancapkan setangkai kembang ke atas gelung penganting wanita yang duduk membelakangi. Pengantin wanita mencabut kembangnya dan membuangnya (ini dilakukan tiga kali). Acara ini disebut nenggu. Setelah neggu, pengantin wanita berbalik dan sama-sama duduk berhadapan kemudian pengantin wanita sujud atau salaman dengan pengantin pria. Selanjutnya mereka duduk bersanding untuk disaksikan oleh undangan dan handai taulan.
Pada acara ini seluruh masyarakat, pemuka agama, laki prempuan diundang untuk menyaksikan dan memberi do’a restu. Pelaksanaan upacara ini bermacam-macam. Kadang-kadang hanya dengan selamat biasa yang biasa disebut do’a jama. Kadang-kadang dengan pesta yang cukup meriah dengan diiringi orkes atau band. Dengan disaksikan oleh seluruh tamu, dihadapan petugas agama, saksi khusus, pengantin pria duduk berhadapan dengan calon mertuanya, berpegangan tangan dalam posisi dua ibu jari kanan mereka saling dirapatkan. Dalam posisi demikian, diadakanlah akad nikah atau ijab kabul yang dalam bahasa daerah disebut lafa. Akad nikah atau ijab kabul atau lafa harus didahului dengan mengucapkan kalimat syahadat yang diucapkan oleh calon mertua atau wali dengan diikuti oleh mempelai pria.
Selesai mengucapkan akad nikah, resmilah si pria menjadi suami si wanita. Proses selanjutnya adalah mengantar pengantin laki-laki menuju tempat duduk pengantin wanita dengan diantar oleh penghulu atau siapa saja yang ada di sekitar itu untuk melakukan upacara caka (jengkal) yaitu ibu jari kanan pengantin pria diletakkan di atas ubun-ubun pengantin wanita yang disusul dengan saling berjabat tangan antar kedua pengantin yang selanjutnya mereka duduk bersanding. Caka dimaksudkan sebagai pertanda permulaan sang suami menyentuh istrinya dan mulai saat itu mereka sudah halal untuk bergaul sebagai suami istri.
Boho Oi Ndeu
Boho oi ndeu adalah mandi sebagai pertanda ucapan selamat tinggal atas masa remaja. Boho oi ndeu ini dilakukan sehari setelah akad nikah, dilangsungkan tapi sebelum pengantin bergaul sebagai suami istri. Pada upacara ini kedua pengantin duduk bersama pada tempat tertentu yang telah disediakan. Kemudian dari atas kepalanya oleh dukun dituangkan air yang sudah disiapkan dalam periuk tanah yang baru (roa bou; roa artinya periuk; bou berarti baru). Leher periuk dilingkari dengan segulung benang putih. Boho oi ndeu biasanya dilakukan pagi hari yang disusul dengan do’a selamatan pada sore harinya. Kedua pengantin duduk berdampingan, menduduki suatu alat tenun yang disebut lira, sedangkan badan mereka dililit dengan untaian benang tenun dari kapas putih sebagai lambang ikatan suci kemudian dilakukan siraman dengan air wangi-wangian. Inilah akhir dari upacara nika ra neku.
Acara mandi untuk calon pengantin wanita dilakukan juga sebelum upacara perkawinan, yakni pada pagi hari sebelum acara kapanca. Mandi ini disebut boho oi mbaru yang artinya memandikan atau menghapus masa kegadisan bagi calon pengantin wanita. Setelah mandi dilanjutkan dengan boru atau cukuran yaitu mencukur dahi calon mempelai wanita menurut bentuk dandanan yang diperlukan.
Pada hari ketiga, pengantin wanita diboyong ke rumah pengantin pria dalam acara yang disebut lao keka. Di tempat pengantin pria, diadakan acara pamaco, dimana kedua pengantin diperkenalkan pada para undangan yang satu per satu menyampaikan sumbangan, entah uang atau barang, bahkan secara simbolis menyerahkan seuntai tali apabila hadiahnya hanya merupakan seekor kerbau.
(Dikutip dalam Ensiklopedia Bima oleh Muslimin Hamzah, Desember 2004). 

FAJAR MERAH DIAMBANG BATAS

Sebuah kisah perjuangan terjadi pada tahun 1941-1946, perjuangan mati dan hidup pemuda rakyat Bima (Mbojo) dalam membela dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Proklamasi 17 Agustus 1945 hasil Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Kisah perjuangan rakyat Bima (Mbojo), NTB ini, tidak kalah patriotik, heroik dan dinamis dilakukan oleh masyarakat seperti Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lain dalam era perjuangan kemerdekaan 1945–1950, belum ada yang menuliskannya.
Tokoh-tokoh pelaku langsung pada masa itu, yang telah disabah dan dikunjungi penulis lalu mendengar penuturanya seperti antara lain :
1. Almarhum, Muhammad Salahuddin, mantan Sultan Bima
2. Almarhum, Putra Abdul Kahir bin Muhammad Salahudin, mantan anggota MPRS-DPR R.I
3. Almarhum, Abdul Madjid Yoesry, mantan Wakil Komandan API/TKR Jeneli Sape/Kesultanan Bima-Dompu, ayahanda penulis
4. Almarhumah, Siti Mariam binti Zakariah, ibunda penulis
5. Almarhum, H. Muchtar Zakariah, SH mantan Walikota DKI
6. Almarhum, H.M.Saleh Abdullah, mantan Kepala P dan K Pemda TK. II Bima.
7. Almarhum, Mustamin Abdurrahman, mantan Komandan API/TKR Jeneli Sape/Kesultanan Bima-Dompu
8. H. A. Bakar Ismail, Ketua LVRI Markas Cabang Bima
9. H. Lalu Muhiddin, mantan Ketua LVRI Markas Cabang Bima
10. H. M. Taher Yusuf, mantan wakil pelatih Laskar API/TKR Jeneli Sape/Kesultanan Bima-Dompu dan masih banyak lagi tidak disebutkan satu persatu.

Dasar dan latar belakang kisah perjungan mati dan hidup pemuda dan rakyat Dana Mbojo, Kesultanan Bima-Dompu :
1. Pemboman pasukan Sekutu pada pusat kota Kesultanan Bima-Dompu sebelum bom Atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki/Jepang pada tanggal 06 dan 09 Agustus 1945.
2. Pemboman ini telah menimbulkan korban jiwa, harta benda menghancurkan seluruh kehidupan masyarakat rakyat Sipil Mbojo, Kesultanan Bima-Dompu. Sarana dan prasarana kehidupan, pasar, toko-toko, terminal dokar, jalan raya, perumahan penduduk, Masjid Sultan Bima. Rakyat Sipil Mbojo, Kesultanan Bima-Dompu terbunuh ribuan. Rakyat Sipil Mbojo (Bima) tidak pernah mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan, tetapi mengapa harus mengalami perbuatan biadab dan tidak berperikemanusiaan?. Sekutu berslogan penyelamat umat manusia dalam perang dunia ke II, tetapi rakyat Kesultanan Bima-Dompu yang dibunuh dan dianiaya dengan kejam. Dua hari, setelah berkumandangnya pembacaan teks Proklamasi, 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta, digedung Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Mantan Joumpo berganti nama Polisi Kelas II, Dae Mejo alias Abdul Madjid Yoesri dan Kusnen, pada tanggal 19 Agustus 1945 oleh Komandan Marinir Angkatan Laut Dai Nipon, tuan Yamamoto meminta tolong dan memerintahkan Joumpo Dae Mejo agar disampaikan pesannya pada Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin. Untuk mengangkat kembali senjata dan peluru, kemungkinan pula terdapat bom-bom yang telah dibuang serdadu Dai Nipon dilaut Teluk Sape. Sultan Bima dan seluruh personil Joumpo bersama rakyat dengan senjata dan peluru itu harus melakukan perlawanan bila Sekutu yang menghantar Nica Belanda mendarat di Bima, Kesultanan Bima-Dompu. Dipesankan pula pada Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin bersama pemuda dan rakyatnya agar dapat melucuti dan merampas senjata dan amunisi pada tangan serdadu Dai Nipon yang belum pulang.
3. Tanggal 20 Agustus 1945, pimpinan Joumpo, Dai Nipon tuan I Shi I Sang menyerahkan kepemimpinan Joumpo pada Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin dan dipercayakan pada Kombes. Polisi, tuan Sudirman orang Jawa. Lalu pada hari itu juga, Dae Mejo alias Abdul Madjid Yoesry diperintah dan dipindahkan ke Jeneli Sape/Kesultanan Bima-Dompu untuk melakukan penelitian dan mencari informasi tentang senjata dan peluru atau bom dibuang serdadu Dai Nipon. Upaya dan usaha berhasil baik dan benar serdadu Dai Nipon membuang senjata dan amunisi didalam laut Teluk Sape, berjarak 100-150 meter dari pelabuhan Kapal Ferry penyeberangan ke NTT sekarang, dalam kedalaman 100-120 meter. Ironisnya, justru Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin memerintah kembali Joumpo/Polisi Kelas II, Dae Mejo segera mengangkat dari dalam laut itu dengan sedikit biaya diberikan oleh Sri Sultan Bima dari kocek pribadi.
4. Dorongan dan motivasi penemuan dan diangkat kembali senjata dan peluru buangan serdadu Dai Nipon sebanyak 125 pucuk Karaben, 5 pucuk senjata otomatis dan peluru satu peti berjumlah 10.000 butir. Dan lalu kedatangan para pelajar dari Yogyakarta, Malang dan Singaraja seperti Muchtar Zakariah, M. Saleh Sulaiman, Ishaka Abdullah dan lain, lalu temuan pemuda-pemuda dan rakyat Mbojo, Kesultanan Bima-Dompu senjata dan amunisi. Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin menitahkan putranya, Putra Abdul Kahir segera membentuk sebuah Komite Nasional Indonesia (KNI) Cabang Kesultanan Bima-Dompu. KNI Distrik Kejenelian (Kecamatan) diseluruh Kesultanan Bima-Dompu terbentuk maka dibentuk pula Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian diganti dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dan di Sekolah Naggio Gakko dirubah menjadi Sekolah Pertanian Menegah – Lewirato dibentuk Tentara Pelajar, Putra Abdul Kahir dipercayakan sebagai Panglima API/TKR dan Tentara Pelajar (TP).
5. Pertengahan bulan September 1945 Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin mengirim utusannya ke Singaraja-Bali dipercayakan pada Moh. Idris Djafar dan Muhammad Amin. Pengiriman utusan ini, dimaksudkan untuk mengambil bingkisan titipan Bung Karno sepulang dari Delta Dallat, Vietnam, setelah bom Atom dijatuhkan di Nagasaki, Hiroshima-Jepang pada Gubernur Sunda Kecil. Bingkisan tersebut berisi lembaran bendera Merah-Putih penutup peti jenazah prajurit angkatan Udara Dai Nipon bernama Ahmad Baco yang gugur dalam perang di laut China Selatan. Seorang Prajurit Dai Nipon, keturunan asli Bima (Dana Mbojo) telah menerbangkan pesawat angkatan Udara Dai Nipon. Prajurit, Ahmad Baco melakukan Jibakutai dengan menerbangkan pesawatnya masuk cerobong asap kapal induk Sekutu melumpuhkan kapal induk, dan yang bersangkutanpun gugur dimakamkan di Delta Dallat sebagai pahlawan Dai Nipon.
6. Awal bulan Oktober 1945, untusan Sri Sultan Bima, Moh. Idris Djafar dan Muhammad Amin menyerahkan bingkisan tersebut diatas dan lalu berselang beberapa hari, tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1945 bendera Merah-Putih berkibar megah pada tiang bendera Istana Kesultanan Bima-Dompu dengan upacara besar disambut pemuda, rakyat Bima, walau dalam hal ini convoy pasukan serdadu Dai Nipon pulang melintasi jalan raya tempat dilaksanakan upacara. Convoi pasukan serdadu Dai Nipon yang berasal dari Flores, Sumba - NTT dipulangkan ke negerinya melalui pelabuhan Lape Lopok – Sumbawa sedangkan perlengkapan perang serdadu Dai Nipon diangkut Sekutu melalui pelabuhan Bandar Bima. Akibat pengibaran bendera Merah-Putih ini maka seluruh rakyat Bima, Kesultanan Bima-Dompu dari kota hingga pelosok desa pada rumah-rumah penduduk mengibarkan Merah-Putih.
7. Tepat pada tanggal 22 Nopember 1945 setelah 12 hari peristiwa Gubeng di Stasion Kereta Api, Surabaya tanggal 10 Nopember 1945 arek-arek Surabaya menghadang Sekutu, walau menggugurkan banyak rakyat Surabaya, namun telah pula menggugurkan Jenderal Malabi. Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin mengumumkan sebuah maklumatnya dihadapan Gelarang (Lurah) Jeneli (Camat) dan seluruh rakyatnya, rakyat Kesultanan Bima-Dompu antara lain mengatakan “Rakyat dan Kesultanan Bima-Dompu berada dan berdiri dibelakang Negara Kesatuan Republik Indonesia, pimpinan Bung Karno dan Bung Hatta. Pengakuan kedaulatan pertama yang dilakukan oleh seorang raja di Timur besar pada NKRI lebih dahulu dari raja-raja lain se-Nusantara.
Penulis Novel Sejarah, Fajar Merah Diambang Batas, jujur mengatakan selama kurun waktu 7 tahun, menghimpun tulisan ini dari para tokoh yang masih hidup dan lalu memulai menulis tulisan tangan hingga menjadi tulisan mesin ketik, kemudian menyewa penulisan computer. Draf tulisan ini pernah juga diserahkan pada Balai Putaka-Jakarta, Gramedia, Grassindo-Jakarta dan Pustaka & Penerbit Mahani Persada Tbk Mataram-NTB dengan harapan diterbitkan menjadi buku, rupanya Tuhan Yang Maha Esa belum memberikan kesempatan dan peluang dapat muncul diatas permukaan balantara daerah asal kisah dan apalagi Indonesia tercinta malahan dikembalikan.
Penulis tidak pernah putus asah dan pasrah, dimungkinkan penulis sendiri semasa usia lima tahun kurang 2 bulan yang selalu mendamping ayah/bunda sebagai Wakil Komandan Laskar pemuda API/TKR Distrik Sape, Kesultanan Bima-Dompu, seorang yang pemimpin perang yang melucuti senjata para serdadu Dai Nipon (Jepang) dikubu pertahananya di Oi Maci – Sape, Kesultanan Bima-Dompu, sekarang Kecamatan Sape – Kabupaten Bima, NTB.
Mereka begitu patuh, taat menjalankan perintah atasannya atau panutannya Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin dan Putra Abdul Kahir di penjara oleh Nica-Belanda dan setelah bebas mereka harus menderita sepanjang hidupnya. Mereka tidak mengharap balas jasa atau pamrih dari tindakannya yang benar dan diridhohi Tuhan oleh karena kemerdekaan telah dicapai dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan telah tegak berdiri dengan Jaya Gemah Ripah Lo Jinawe.
Novel Sejarah, Fajar Merah Diambang Batas terbit pertama dan dicetak pada percetakan Sinar Baru, Bekasi – Jawa Barat sebanayak 1.000 Expl buku dan perbuku 303 halaman telah terjual habis oleh pemodal. Sedang pemodal sudah tidak bersedia melanjutkan, penulis sendiri menganggap ini sebagai publikasi awal untuk Daerah Bima.
Komplain dan komentar para pembaca yang ada hanya tetap menginginkan dan mengharapkan agar terus diperbanyak atau dicetak ulang dengan melengkapkan daftar-daftar pemuda dan rakyat, lokasi-lokasi tempat kejadian dan foto-foto peserta dalam kisah ini. Dengan anjuran dan permitaan tersebut maka telah dilakukan upaya dengan tidak merubah jalan kisah sehingga menghasilkan tulisan Novel Fajar Merah Diambang Batas menjadi 4 jilid buku sebagai berikut :
- Buku Jilid I – 309 halaman, dalam 10 Episode.
- Buku Jilid II – 325 halaman, dalam 9 Episode
- Buku Jilid III – 243 halaman, dalam 7 Episode
- Buku Jilid IV – 255 halaman, dalam 9 Episode


Tulisan Novel lain yang telah dihasilkan selama ini :

Sang Sangaji Londe (Ruma Londe)

Kisah, Mpama ro Mpemo (cerita tidur) dituturkan turun temurun di Kerajaan Kembar Mbojo dan Dompu terjadi pada tahun 1145 Masehi. Sebuah kisah putra Sangaji (Raja) Indra Sari, Putra La Pasareh menduduki singgasana Kerajaan dalam dua sebagai Sangaji (Raja) manusia sesamanya dan Sangaji (Raja) Ikan Kembung (Ruma Londe). Lukisan ketabahan, kesabaran, kejujuran dan kekuatan hati menghadapi ujian dan cobaan hidup.
Untuk mendapatkan gelar Ruma atau bangsawan, bukan karena dilahir dari orang yang bergelar Ruma atau bangsawan maka menjadi Ruma. Tapi ini semua dari tutur bahasa, perbuatan dan perilaku baik, jujur, patuh dan taat maka jadilah Ruma atau bangsawan.

Cinta tidak untuk dimiliki

Kisah ini, sebuah kisah dramatis penuh romantika kehidupan yang dituturkan lisan para tetua “Mpama ro mpemo masa kehidupan Sultan Bima ke XII Sultan Ibrahim “Mataho parange” dengan guru tercintanya. Kegagalan cinta menjauhkan tali kasih antara guru & murid, namun tali kasih kembali dapat tersambung bila tekanan kewajiban oleh Belanda tidak muncul yang mengancam hidup dan kehidupan diri serta negeri tercinta.


Saya mengharapkan kepada pihak-pihak pemilik modal bahkan optimis karya novel-novel sejarah lainnya dapat menjadi acuan dan sebuah wacana budaya bangsa yang sedang digali kembali sehingga bermanfaat dan berdaya guna bagi bangsa dan negara Indonesia. Apalagi dengan program dari pemerintah agar rakyat lebih mencintai budaya sendiri dari pada budaya asing. “Kita bisa lihat dari program di berbagai televisi baik sinetron, film dan musik sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Lalu bagaimana dengan kepedulian kita terhadap novel-novel sejarah, karena setiap negara pasti mempunyai sejarah masing-masing karena itu adalah sebagai pengalaman hidup”.

La Mila yang cantik berkerabu intan

Kisah ini, sama dituturkan turun temurun lisan menunggu waktu tidur malam. Sebuah kisah pada masa Sangaji (Raja) Mbojo, Matra Indar Tarati dengan putrinya Putri Ratna Lila memperebutkan balasan kasih sayang seorang Jejaka. Perebutan dimenang sang anak, namun membawa petaka – petaka cinta.

Sang Sangaji Londe (Ruma Londe)

Kisah, Mpama ro Mpemo (cerita tidur) dituturkan turun temurun di Kerajaan Kembar Mbojo dan Dompu terjadi pada tahun 1145 Masehi. Sebuah kisah putra Sangaji (Raja) Indra Sari, Putra La Pasareh menduduki singgasana Kerajaan dalam dua sebagai Sangaji (Raja) manusia sesamanya dan Sangaji (Raja) Ikan Kembung (Ruma Londe). Lukisan ketabahan, kesabaran, kejujuran dan kekuatan hati menghadapi ujian dan cobaan hidup.
Untuk mendapatkan gelar Ruma atau bangsawan, bukan karena dilahir dari orang yang bergelar Ruma atau bangsawan maka menjadi Ruma. Tapi ini semua dari tutur bahasa, perbuatan dan perilaku baik, jujur, patuh dan taat maka jadilah Ruma atau bangsawan.

Selasa, 14 Desember 2010

Petunjuk Ujian - Umum

Seorang Guru berkata pada para siswanya,
"Sebenarnya hanya satu kesalahan para siswa hingga dalam ujian sering nilainya jeblok!".
"Apa tuh Pak?", tanya salah satu murid.
"Khan sudah jelas pada petunjuk ujian tertera pilihlah jawaban yang benar! Kenapa tidak dipatuhi?", kata guru itu.

...[View]

Petunjuk Ujian - Umum

Seorang Guru berkata pada para siswanya,
"Sebenarnya hanya satu kesalahan para siswa hingga dalam ujian sering nilainya jeblok!".
"Apa tuh Pak?", tanya salah satu murid.
"Khan sudah jelas pada petunjuk ujian tertera pilihlah jawaban yang benar! Kenapa tidak dipatuhi?", kata guru itu.

...[View]

Tipe Cewek & Alat Musik - Umum

Hai guys, ternyata, menurut penelitian ada hubungan antara tipe cewek dan alat musik. Ini nih kalo nggak percaya :

Rico : " Eh Dun, cewek tuch ada tipe-tipenya lho ? "

Edun : " Apaan aja, tuch ! "

Rico : " Tipe Cewek Musik. "

Edun : " Cewek Musik artinya apa ? "

Rico : " Mungil Tapi A...[View]

Gak Mau Ngalah - Umum

Orang India, Amerika, Indonesia dan Cina sedang duduk di kereta api perjalanan ke Rantau Prapat. Mereka duduk berhadap-hadapan.

Orang India membuka kopernya yang penuh dengan teh celup. Dibuatlah satu cangkir teh, diteguk lalu dibuang ke luar jendela beserta seluruh isi kopernya. Tiga orang laenn...[View]


Tuhannya masih Bayi - Umum

Aming baru saja mengikuti perayaan Natal di kantornya. Sebagai pesan Natal, Aming diingatkan untuk hidup pasrah dan berserah diri kepada Yang Maha Esa. Dalam kisah Natal itu diceritakan mengenai zaman dimana Yesus baru dilahirkan, dan raja yang berkuasa saat itu : Raja Herodes - yang memang terkenal...[View]

Si Mbok - Indonesia

Seorang gadis desa yang lugu hendak merantau ke kota dibekali pesan oleh simbok.
"Nduk. . kalau kamu ke kota dan kebetulan ada jodoh, Simbok pesen, carilah pasangan yang setia; bisa mengelola uang, dan; harus perjaka ting-ting".
Berangkatlah sang gadis ke kota. Beberapa bulan kemudian dia kembali ...[View]

Coba lagi ya - Indonesia

Sang ayah dan ibu sangat murka ketika mengetahui anak perempuan mereka hamil.
“Siapa si bedebah itu,” jerit sang ayah, sedang si ibu menangis.
“Suruh dia datang kesini!”
Si anak pun menelepon pria yang menghamilinya.
Setengah jam kemudian sebuah mobil Ferrari merah berhenti di depanrumah.. .
S...[View]

Permen Karet - Indonesia

Turip Amerika diantar berkeliling Bangkok oleh seorang pemandu wisata Thailand. Terjadilah percakapan di antara keduanya.

Turis Amerika: "Kalau di sini, sisa-sisa seafood itu biasanya diapakan?"

Pemandu Thailand: "Dibuang"

Turis Amerika: "Kalau di Amerika, sisa-sisa seafood itu dibuat snack...[View]

Gak Niat - Pendek

Malam menjelang ujian, seorang mahasiswa melempar undi dengan koin.
"Kalau muncul gambar, saya akan tidur; kalau angka, saya akan nonton
teve.
Kalau koin ini bisa berdiri, saya akan belajar."
...[View]


Heeee - Pendek

Apa bedanya ban mobil dengan kondom?
*Kalo ban mobil tiba-tiba bocor, nyawa bisa hilang, kalo kondom
bocor, nyawa bisa nambah
...[View]

Dasar Maling - Pendek

"kenapa kamu mencuri tip yg ada di dalam mobil?" kata polisi kpd
sahli, waktu diperiksa di kantor polisi.
"terpaksa, pa," kata sahli
"terpaksa gimana? gak punya uang untuk makan?"
"dari pagi saya mencari kantor polisi, tapi tidak ketemu terus
nanya ke temen, malah diem aja. ...[View]

Ikat Pinggang - Pendek

Abang : Hai Butet kalau abang pulang dari Jakarta kamu minta apa?
Butet : sekarang kan udah zamannya modern aku minta hp lah Bang
Abang : bagus permintaan kamu nanti abang bawakan

Abang : hai Sinaga kamu minta apa?
Sinaga : aku minta kaca mata biar kaya artis di tv.
Abang : oh....[View]

Salah Jalur - Pendek

Seorang Manula (Manusia lanjut usia) sendang mengendarai mobil dijalan
tol. tiba2 telepon mobilnya berbunyi dan diangkatnya, Ia mendengar suara istrinya sedang memperingatinya untuk
berhati-hati,
"Herman, Saya baru saja dengar bahwa ada sebuah mobil yang berjalan
dengan arah yan...[View]

Bioskop - Pendek

Seorang suami di bioskop: "Kamu dapat melihatnya, sayang?"
Istri: "Ya."
Suami: "Apa kursimu nyaman?"
Istri: "Ya."
Suami: "Apa ada yang mengganggumu?"
Istri: "Tidak."
Suami: "Bagus! Kalau gitu kita tukaran tempat."...[View]

Sumur - Pendek

Sepasang suami istri datang ke sebuah sumur keramat untuk meminta
berkah.Pertama, si suami melemparkan kembang ke dalamnya dan komat-kamit
membacakan doa dan keinginannya. Kemudian ketika giliran istrinya yang
akan memanjatkan keinginan, si istri terlalu dalam menunduk
sehingga ja...[View]

Tiga Kemungkinan - Pendek

Malam menjelang ujian, seorang mahasiswa melempar undi dengan koin.

"Kalau muncul gambar, saya akan tidur; kalau angka, saya akan nonton teve.

Kalau koin ini bisa berdiri, saya akan belajar."
...[View]

Berbisa - Pendek

Dua ekor ular sedang menelusuri sawah mencari mangsa. Tiba- tiba ular pertama bertanya, "Kita ini jenis ular yang berbisa nggak sih?"

"Entahlah, aku tak tahu. Emangnya kenapa?"

"Barusan aku tak sengaja menggigit bibirku ...." ...[View]

Masih Bayar - Pendek

Anak : Ayah berapa sih biaya kalau mau menikah?

Ayah : Sambil memperhatikan wajah anak laki-lakinya yang polos itu.

Entahlah nak, karena sampai sekarang Ayah masih bayar terus kepada ibumu.

Legenda Putri Nila Fatirah

Permaisuri Raja Dompu, Putri Nila Fatirah, dikutuk oleh seorang nenek sihir. Penyihir tersebut iri dengan kecantikan dan kebaikan permaisuri. Permaisuri kemudian diubah menjadi seekor kerbau. Karena malu permaisuri yang sudah menjadi kerbau tersebut lalu mengasingkan diri ke hutan belantara di Doro Londa (Gunung Londa), Bima. Ikut serta dua putrinya yang masih kecil, Nurul Patindah dan Nurtindah.
Cukup lama sang permaisuri di Doro Londa, hingga kedua putrinya menjadi gadis. Kendati berujud kerbau, sang permaisuri mendidik anak-anaknya tata krama dan sopan santun serta keterampilan. Termasuk mengajarkan sholat dan mengaji. Tak lupa pula membekali kedua putrinya dengan keterampilan menari dan menyanyi. Sampai suatu waktu, seorang pangeran dari Bima berburu menjangan ke Doro Londa. Pangeran secara tidak sengaja menemukan tempat permaisuri dengan kedua putrinya. Ketika itu permaisuri tidak ada di tempat karena sedang mencari makan.
Demi melihat kedua putri cantik itu, pangeran jatuh hati pada putri sulung, Nurul Patindah. Akhirnya keduanya pun menikah. Hadir pula Raja Dompu Sultan Nurullah. Sultan begitu tertegun dengan kecantikan sang putri karena mirip sekali dengan istrinya yang hilang 20 tahun silam. Ikut hadir di sekitar lapangan seekor induk kerbau. Massa mengusirnya namun Putri Nurul Patindah mencegahnya, “Itu Ibunda saya,” katanya.
Dari situ terungkap bahwa memang, kerbau tadi adalah Permaisuri Raja Dompu. Sang Putri yang menikah tak lain adalah Putri Sultan Nurullah sendiri. Dengan do’a raja dan anak-anaknya, akhirnya Putri Nurul Fatirah dapat dikembalikan ujudnya sebagai manusia. Mereka berkumpul kembali dan hidup bahagia. Hubungan Kerajaan Bima dan Dompu pun makin harmonis.
Persahabatan kedua kerajaan diabadikan dalam prasasti yang ditulis di atas sebuah batu bundar atau wadu mbolo. Kini batu itu tidak ada lagi namun tempat itu menjadi Kampo Wadu Mbolo (Kampung batu bundar) sampai sekarang. 
Dikutip dari Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedia Bima, 2004.  

Legenda Asal Nama Teluk Saleh

Dulu, Kerajaan Pekat dan Tambora makmur. Raja dan rakyat di kerajaan tersebut masih percaya pada roh-roh halus. Kerajaan Dompu, Bima dan Sanggar sudah Islam.
Seorang da’i kelana asal Bagdad datang ke Kerajaan Pekat dan Tambora. Namanya Syekh Saleh Al-Bagdadi. Dia bermaksud mengislamkan masyarakat setempat. Caranya sangat santun. Ajaran agama disampaikan dengan lemah lembut. Syekh mengajarkan Sahadat dan Sholat. Juga memberi tahu soal perbuatan halal dan haram. Antara lain yang tergolong haram adalah memakan bangkai, anjing dan babi. Mulanya Syekh diterima baik. Tapi ternyata itu hanya sikap berpura-pura. Sebagian mereka tidak ingin Syekh mengubah kepercayaan mereka.
Sekali waktu masyarakat Tambora menjamu Syekh. Aneka makanan lezat seperti gulai dihidangkan. Syekh menikmati makan tersebut. Usai makan, masyarakat bertanya, “Bagaimana Syekh, apakah masakan kami enak?”. Syekh menjawab, “Alhamdulillah, sangat enak”. “Gulai yang enak tadi adalah daging anjing,” ujar masyarakat.
Betapa kagetnya Syekh. Dia kecewa dengan masyarakat setempat. Dia mendo’akan supaya Allah memberi ganjaran kepada mereka. Syekh lantas pergi ke barat, arah pesisir Kerajaan Dompu. Tak berapa lama bencana datang. Gunung Tambora meletus. Hujan batu dan abu serta lahar panas menyapu masyarakat di dua kerajaan itu.
Setelah musibah itu, Syekh tetap mendedikasikan hidupnya untuk Islam. Dia mengajarkan masyarakat pesisir sepanjang teluk di Barat Kerajaan Dompu untuk taat pada perintah Allah. Dia menghabiskan hidupnya untuk berdakwah.
Berkat jasa luar biasanya bagi masyarakat pesisir di daerah tersebut, teluk nan indah itu dinamai Teluk Saleh. Nama Syekh menjadi abadi. Sebuah penghormatan yang pantas berkat ilmunya yang bermanfaat.
Dikutip dari Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedia Bima, 2004.

Legenda La Hila

Di zaman dulu, hidup seorang putri di Kala, Donggo. Namanya La Hila. Cantik jelita. Kulitnya putih bersih. Lehernya berjenjang. Jika makan dan minum, tampaklah makanan dan minuman yang ditelan. Alis sang putri seperti semut beriring. Rambutnya panjang terurai. Jika sang putri mandi keramas atau mencuci rambut, dibutuhkan tujuh belah jeruk bundar (dungga mbolo) serta tujuh belah kelapa atau tiga setengah butir. Manakala sang putri mengeringkan rambutnya, diperlukan tujuh galah panjang untuk menjemurnya.
Gadis ini belakangan akrab dipanggil La Hila atau Sang Putri yang Hilang. Ceritanya bermula ketika kabar mengenai kecantikan La Hila terkenal seantero negeri hingga ke kerajaan seberang. Banyak pemuda yang ingin meminangnya. Para pemuda itu merasa cemburu dan berujung pada keributan di antara mereka.
Paman dan bibi La Hila mencium bahaya besar jika keadaan dibiarkan berlarut-larut. Untuk menghindari bahaya yang lebih besar, La Hila diminta untuk menyembunyikan diri. Rencana paman dan bibinya tersebut tidak disampaikan ke orang tua La Hila. La Hila setuju bersembunyi. Dia minta paman dan bibinya membuat lubang persembunyian dalam tanah, semacam bunker. La Hila minta supaya disertakan pula perangkat menenun dalam lubang persembunyiannya.
Pagi-pagi La Hila masuk ke dalam lubang yang sudah disiapkan. Sore harinya paman dan bibinya mengantar makanan. Esok harinya, keduanya kembali mengantar makanan La Hila. Alangkah kagetnya mereka karena tidak menemukan La Hila di tempatnya. Hanya ada alat menenun saja di situ. Paman dan bibinya sangat sedih. Bibinya menangis seraya mencabut pucuk rebung yang tumbuh dekat lubang persembunyian La Hila. Anehnya, rebung tersebut mengeluarkan darah. Disaat bersamaan terdengar teriakan menahan sakit. Namun orang yang berteriak tidak tampak. Bunyi teriakannya, “Jangan dicabut, sakit bibi. Ini saya bibi. Saya sudah menjadi rebung”. Tentu saja pasangan suami istri itu kaget bukan alang kepalang. La Hila lalu berpesan kepada paman dan bibinya, “Bambu ini jangan dirusak. tolong dijaga hingga anak cucu”.
Mengetahui anaknya sudah hilang, ibunda La Hila mendatangi lubang persembunyian anaknya. Dia menangis mengelilingi pohon rebung tersebut seraya bernyanyi. Itulah asal mula “Kalero“, musik khas Donggo.
Rimbunan bambu jelmaan La Hila masih ada di O’o, namun tidak lagi terpelihara seperti pesan La Hila. Masyarakat setempat menebangnya untuk aneka keperluan seperti untuk perlengkapan membangun rumah.
Dikutip dari Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedia Bima, 2004.

SUMBER DAYA ALAM DAERAH BIMA

A. PERTANIAN
Pembangunan di sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi hasil pertanian dengan memanfaatkan secara optimal lahan pertanian di Kabupaten Bima yang memiliki luas 30,526 Ha. Salah satu cara untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi hasil pertanian adalah dengan menggunakan bibit unggul dan dikelola secara modern, hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bima dengan menyediakan bibit unggul pertanian dan teknologi tepat guna yang diperuntukan bagi para petani di Kabupaten Bima. Cara ini mampu meningkatkan produksi hasil pertanian di Kabupaten Bima seperti pada jenis komiditas padi, jagung, kedelai, dan bawang merah, yang secara rata-rata naik lebih dari 10% tingkat produksinya pada tahun 2007.


Tabel 1 : Perkembangan Produksi Hasil Pertanian
No
Jenis Komoditi
Tahun (Ton)
2005
2006
2007
1
Padi172.462248.062238.630
2
Jagung7.2897.55316.180
3
Kedelai30.02735.68917.160
4
Kacang Tanah9.95111.0706.824
5
Kacang Hijau5391.3751.358
6
Ubi Kayu12.8868.27911.327
7
Ubi Jalar4.2865.5954.055
8
Bawang Merah79.68367,50287,868
JUMLAH
   
Sumber Data : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kab. Bima


B. PETERNAKAN
Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pada sektor peternakan adalah dengan melihat kemampuan Kabupaten Bima untuk memproduksi hasil peternakan. Pada tahun 2005, kabupaten Bima memiliki 158,722 ternak dan 454,496 unggas. Jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya sehingga pada tahun 2007 mencapai 200,560 ternak dan 495,816 (naik rata-rata sebesar 17%) dengan kemampuan untuk memproduksi daging rata-rata 1,072 ton per tahun.

Tabel 2 : Populasi Ternak dan Unggas di Kabupaten Bima
No
Jenis
Tahun
2005
2006
2007
A
TERNAK
1
Sapi59.01261.87462.398
2
Kerbau28.50930.02230.857
3
Kuda9.3099.4819.735
4
Kambing57.83885.74987.451
5
Domba4.0549.99010.119
 Sub Total Ternak158.722197.116200.560
B
UNGGAS
1
Ayam Ras22.52723.90042.960
2
Ayam Kampung368.802376.177383.805
3
Itik61.39867.78468.915
4
Unggas lain-lain1.7691.868136
Sub Total Unggas454.496469.729495.816
JUMLAH
613.218666.845696.376
Sumber Data : Dinas Peternakan Kabupaten Bima


C. PERIKANAN
Kabupaten Bima sebagai salah satu Kabupaten yang memiliki sektor perikanan yang sangat potensial. Hal ini dapat diketahui dari tidak hanya ditunjang oleh luasnya wilayah perairan laut sehingga memproduksi banyak hasil perikanan, tetapi juga ditunjang oleh ketersediaan lahan untuk pengembangan pertambakan. Pada tahun 2005, Kabupaten Bima mampu memproduksi perikanan laut sebanyak 8,091.2 ton, 5,266 ton rumput laut, dan 3,506.0 ton tambak.

Tabel 3 : Tingkat Produksi Perikanan di Kabupaten Bima
No
Uraian
Produksi (Ton) / Tahun
2005
2006
2007
1
Perikanan Laut
8,091.2
206,741.0
206,741.0
2
Rumput Laut
5,226
5,226.0
5,226.0
3
Tambak
3,506.0
6,621.0
6,621.0
4
Ikan Air Tawar
12.8
185.10
185.10
Sumber Data : Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Bima


D. PERKEBUNAN
Sektor perkebunan Kabupaten Bima memiliki beberapa komoditi unggulan diantaranya komoditi kelapa, kemiri, asam, wijen, dan kopi. Dalam kurun waktu 2005 s/d 2007, jenis komoditi jambu mete mengalami peningkatan produksi yang cukup signifikan dari 503,6 ton pada tahun 2005, dapat diproduksi menjadi 542,0 ton pada tahun 2007. Peningkatan produksi ini terjadi karena perluasan areal penanaman jambu mete serta memiliki daya jual yang semakin naik dibandingkan dengan jenis komoditi perkebunan lainnya.

Tabel 4 : Tingkat Produksi Komoditi Perkebunan di Kabupaten Bima
No
Jenis Komoditi
Produksi (Ton) / Tahun
2005
2006
2007
1
Kelapa
1.517,65
1.518,62
1.520,09
2
Kakao
1,11
0,39
1,23
3
Kemiri
2.106,25
2.109,05
2.111,67
4
Cengkeh
2,00
2,15
2,35
5
Kopi
1.053,54
1.056,75
1.059,81
6
Jambu Mete
503,6
509,86
542.00
7
Tembakau
36,46
36,65
41,60
8
Pinang
29,75
30,31
31,90
9
Asam
1.565,26
1.565,30
1.579,65
10
Jarak
324,70
324,55
303,00
11
Wijen
380,44
382,32
408,90
12
Tebu
32,16
32,23
30,40
13
Kapas
5,25
0,00
0,00
14
Empon-empon
52,27
65,00
0,00
Sumber Data : Dinas Perkebunan Kab. Bima


E. KEHUTANAN
Luas wilayah hutan di Kabupaten Bima mencapai 269.709,52 Ha atau 25.29% dari luas wilayah hutan NTB yang terdiri dari hutan konservasi seluas 69.871,36 Ha, hutan lindung seluas 83.189,91 ha, hutan produksi seluas 116.646,20, dan HPK seluas 6.800 Ha.

Tabel 26 : Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Status Fungsinya
 
No
Kel. Hutan
Luas Definitif 
(Ha)
Hutan Konservasi 
(Ha)
Hutan Lindung 
(Ha)
Hutan Produksi 
(Ha)
HPK (Ha)
1
Tolowata
493,30
-
-
493,90
-
2
Tololai
3.067,10
-
-
3.067,10
-
3
Maria
16.382,00
-
9.949,40
6.432,60
650.00
4
Pamali
1.275,00
-
1.275,00
-
-
5
Tambora
92.604,76
58.812,86
6.611,20
27.180,70
3.500.00
6
Soromandi
16.200,00
-
14.351,36
-
2.650.00
7
Tofo - Rompu
63.060,37
232,00
24.884,67
37.943,70
-
8
Nipa - Pusu
14.219,90
-
3.171,88
11.048,02
-
9
Kota Donggomasa
42.631,50
3.333,80
22.946,40
16.351,30
-
10
NanganaE - Kapenta
3.864,20
-
-
3.864,20
11
P. Sangiang
12.621,25
7.492,70
-
-
-
12
Gilibanta DSK
3.290,14
-
-
-
-
Jumlah Bima
269.709,50
69.871,36
83.189,91
116.646,20
6.800,00
Jumlah NTB
1.066.493,40
171.533,50
454.594,20
441.771,72
28.395,00
% Bima dari NTB
25,29
40,73
18,30
26,40
24,00
Sumber Data : Dinas Kehutanan Kab. Bima


Tabel 27 : Kegiatan Rehabilitasi Hutan di Kabupaten Bima

No
Jenis Kegiatan
Luas Lahan (Ha) / Tahun
2005
2006
2007
1
RHL Penghijuan/ APBD Kabupaten
-
1.200
4.820
2
RHL Penghijuan/ APBD Provinsi
100
100
-
3
GN-RHL
2.200
425
25
4
Lain-lain
470
1.241
Jumlah
2.770
2.966
4.845
Luas Lahan Kritis
34.519,12
31.553,12
26.708,12
Sumber Data : Dinas Kehutanan Kab. Bima


Sedangkan luas lahan kritis di Kabupaten Bima mencapai 37,289.12 Ha atau 13.83% dari luas wilayah hutan Kabupaten Bima. Melalui program konservasi dan rehabilitasi hutan baik bersumber dari dana APBD maupun APBN, seluas 2.770 Ha tahun 2005, dan meningkat menjadi 4.845 Ha tahun 2007 sehingga dapat menurunkan luas lahan kritis di Kabupaten Bima menjadi 26.708,12 Ha pada tahun 2007 (turun sebesar 28.38%).

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More